Ternyata urusan instan bukan hanya urusan makanan. Mie instan, jahe instan, kopi instan, dan lain-lain serba instan. Ternyata urusan instan menyebar ke segala lapisan masyarakat dan segala macam urusan.
Sebetulnya tulisan ini kadarnya sedikit di atas gerundelan. Gerundelan atas keprihatinan nasib bangsa saat ini. Bangsa yang sedang sakit. Bangsa yang sedang sakit, kurus kering, kekurangan darah dan kerdil. Bangsa yang salah asuh dan salah urus oleh para pengemongnya. Bangsa yang melahirkan para politisi rabun ayam dan para pengusaha rabun myopi serta masyarakat yang sakit.
Para politisi rabun ayam ini membesarkan demokrasi bangsa menjadi bonsai dan vampir. Demokrasi seolah-olah. Seolah-olah kita telah berdemokrasi. Para politisi ini memberikan “uswatun hasanah”, kepada para pengikutnya bagaimana cara berdemokrasi. Yakni : jadikanlah rakyat sebagai alat untuk mengejar kepentingan partai, kelompok dan pribadi tentunya. Suara rakyat yang seharusnya sampai ke pucuk, hanya bergaung di akar rumput. Suara rakyat dijadikan komoditi yang bernilai jual. Setelah dapat kedudukan, maka para politisi ini berubah menjadi vampir. Menyedot darah bangsa, darah rakyat, sehingga menjadi kerdil dan kurus kering. Suara rakyat dan demokrasi menjadi kerdil dan sengaja dibonsaikan. Untuk kepentingan itu dipeliharalah kredo : ‘kecil itu indah”.
Para pengusaha yang rabun myopi kemudian berkolaborasi dengan para politisi rabun ayam untuk berkolusi. Berkolusi untuk mendapatkan proyek-proyek dan berbagai fasilitas. Baik fasilitas pembebasan pajak, fasilitas kemudahan impor, kemudahan menggarong bank, bahkan bank yang mereka miliki sendiri. Para pengusaha rabun myopi ini melihat diri mereka besar, sedangkan melihat musuh-musuh mereka di luar negeri kelihatan kecil. Mereka hanya bisa melihat yang dekat, tidak bisa melihat di kejauhan. Para pengusaha ini merasa besar di kandang mereka sendiri. Ketika diadu bertanding dengan pengusaha-pengusaha dari luar mereka semua “keok”. Karena mereka terbiasa dimanja. Mereka terbiasa hidup enak dan mendapatkan segalanya dengan cepat.
Mungkin penyebab semuanya ini karena bangsa kita agaknya masih termasuk bangsa primitif. Bangsa yang tidak mau menanam tapi maunya hanya memanen. Benar seperti yang dikatakan oleh Profesor Koentjaraningrat, bahwa salah satu budaya yang membuat bangsa kita terpuruk adalah budaya terabas, budaya instan. Budaya kepingin cepat jadi. Budaya kepingin cepat dapat untung. Budaya ingin segala permasalahan cepat selesai. Budaya yang pokoknya semuanya harus serba cepat, serba instan.
Bangsa yang masih primitif di zaman dahulu kala, tidak pernah berfikir untuk harus menanam terlebih dahulu. Karena semuanya serba ada. Kalau mereka lapar tinggal pergi ke hutan, bawa tombak dan pulang membawa hewan buruan. Atau tinggal tebang atau petik pohon buah-buahan. Kalau kepingin makan ikan, tinggal pergi ke sungai dan menombak beberapa ekor ikan dan membawa pulang beberapa ekor untuk dipanggang. Benar-benar hidup yang indah dan nimat. Itulah kehidupan bangsa primitif. Masyarakat primitif tidak pernah berfikir kerja keras dan tidak perlu bersusah-susah berfikir mengenai kelangkaan sumberdaya. Segala serba ada dan tinggal ambil.
Kitab suci sendiri, di dalam Al Quran, telah menyebutkan bahwa manusia diciptakan memilik sifat tergesa-gesa. Sifat ingin segalanya cepat jadi, yakni sifat instan. Dan sifat ini ditegaskan bukanlah sifat yang baik bagi manusia.
Sebagai bangsa yang sedikit maju, seharusnya mulai berpikir adanya kelangkaan dalam sumberdaya dan perlunya budaya bertani. Untuk itu kita harus menanam. Kita harus menggali, menanam dan harus memetik serta mengolah sebelum dapat dimakan. Kita harus bersusahpayah terlebih dahulu sebelum bisa memetik hasil. Harus dengan kesabaran untuk menunggu sebelum menikmatinya, bahkan kadang-kadang hasil panen yang harusnya jadi milik kita keduluan oleh hama atau binatang perusak, seperti monyet dan babi hutan.
Budaya instan yang turun dari masyarakat primitif ini agaknya sekarang masih jadi budaya kita pula. Makanya tak heranlah bila kita menyaksikan orang-orang mulai dari pensiunan, ibu-ibu rumah tangga sampai pejabat tinggi negara yang berbondong-bondong “menginvestasikan” uangnya di bisnis-bisnis yang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan dan dalam waktu yang singkat. Sungguh aneh, dimana logika mereka semua? Sektor pertanian yang hanya memiliki keuntungan sama dengan tingkat suku bunga Bank (menurut Prof. Didik Rachbini, di Republika) bisa memberikan keuntungan sampai 5 persen per bulan. Agaknya mereka semua tergiur ingin cepat kaya dalam waktu singkat. Inilah budaya instan!
Makanya tak heran pula kita bila melihat betapa judi-judi togel begitu meruyak di masyarakat. Dengan hanya memasang 1000 rupiah, bisa mendapatkan 10 ribu sampai 100 ribu rupiah. Bisa 10 sampai 100 kali lipat. Benar-benar menggiurkan keuntungannya. Padahal yang namanya judi, satu-satunya yang bisa menang adalah para bandar. Tetapi logika ini tidak akan bisa masuk ke kuping para “fans” togelwan dan togelwati dan judi gelap lainnya. Ya, itu karena budaya budaya instan, ingin cepat kaya tanpa harus kerja keras!
Dan takkan pula kita heran bila menyaksikan bagimana para bapak-bapak, ibu-ibu, remaja-remaja, pejabat, artis pengusaha atau “orang-orang biasa” yang juga berbondong-bondong mendatangi para dukun, paranormal, atau “orang-orang pintar”. Bapak-bapak pejabat tersebut datang untuk mendapatkan aji-ajian pengasih agar tetap dapat bertahan di jabatannya atau agar bisa lebih naik lagi jabatannya. Para remaja mendatangi para dukun untuk mendapatkan aji pengasih agar memperoleh pasangan dengan cepat. Seperti juga artis-artis, dengan membeli susuk agar kelihatan cantik dan seksi. Para pengusaha butuh ajian agar usaha mereka lancar dan sebagainya. Hal ini terlihat hampir di seluruh lapisan masyarakat. Terlihat budaya primitifnya. Ingin sukses tetapi tidak mau kerja keras!
Makanya tidaklah mengherankan, bila kita terlambat keluar dari krisis ekonomi yang menimpa bangsa kita. Kita berkeinginan untuk segera keluar dari krisis tetapi “emoh” untuk kerja keras. Malahan kita gantungkan nasib kita kepada lembaga asing yang tidak pernah peduli dengan bangsa kita. Mereka hanya peduli akan uang mereka. Uang yang mereka pinjamkan harus kita kembalikan, dan mereka hanya memastikan bahwa uang mereka itu aman. Kita hanya sibuk menyalahkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri, meyelamatkan diri sendiri, kalaupun inisiatif itu ada dengan cara yang aneh. Mencari harta karun dan menjual asset serta perusahaan-perusahaan vital milik bangsa! Menggelikan. Dan itu benar-benar budaya instan!
Lihatlah bagaimana cara berfikir para ahli keuangan kabinet sekarang ini. Mereka berkeinginan untuk bisa mendapatkan uang bagi modal pembangunan dengan cara yang cepat. Uang bagi kas negara dengan cara yang instan, yakni obral BUMN dan asset-asset vital bangsa serta mengambil hak rakyat berupa subsidi. Mereka tidak mau bekerja keras, bahkan untuk sekedar berfikir bagaimana caranya untuk mengembalikan uang negara yang digarong melalui BLBI oleh para konglomerat hitam. Mereka enggan dan malas untuk memikirkan bagaimana cara-cara kreatif seperti yang dimiliki oleh tetangga kita Malaysia, yang sukses dan bangga jadi musuh Yahudi!.
Bagaimana dengan kehidupan perekonomian rakyat kecil dan koperasi? Sami mawon alias samo sajo. Masyarakat koperasi masih ada imbas masyarakat primitif. Ingin cepat besar, ingin cepat kaya tetapi enggan bekerja keras. Koperasi menjadi sekumpulan masyarakat yang hanya menjadi broker dan rent seeking society. KUD-KUD lebih aktif mengurusi rekening listrik daripada mengurusi pertanian. Karena dari rekening listrik telah kelihatan berapa keuntungan yang didapatkan. Keuntungan yang cepat lagi instan. Hal ini boleh-boleh saja, asalkan core business KUD tidak terlupakan. Akan tetapi yang banyak terjadi adalah KUD meninggalkan core business nya sebaga koperasi pertanian di tingkat perdesaan. Banyak KUD-KUD, unit usaha yang hidup hanyalah tempat pembayaran rekening listrik, unit wartel atau unit-unit lainnya yang tidak berhubungan dengan sektor pertanian.
Pertanda lainnya adalah banyaknya bermunculan koperasi-koperasi dan induk-induk koperasi yang tidak jelas “juntrungannya”. Koperasi-koperasi yang tidak jelas core business-nya. Bermunculan koperasi-koperasi merpati dan koperasi pedati, yang hidup untuk mendapatkan fasilitas dan kredit murah. Benar-benar budaya instan!
Cukuplah itu saja, contoh-contoh yang menunjukkan bahwa bangsa kita masih bangsa primitif.
Bangsa kita adalah bangsa yang telah mendapatkan pendidikan selama orde baru dengan pendidikan yang penuh dengan isi materialistis. Bangsa kita berhasil terbebas dari buta huruf tetapi belum bebas buta nurani, belum bebas buta mata hati. Sehingga budaya lama, budaya instan masih belum terhapuskan.
Harus dengan kerja keras pula untuk menghilangkan budaya ini. Butuh kerja keras kita bersama. Konon katanya, butuh waktu 100 tahun untuk merubah suatu budaya. Butuh dua generasi untuk merubah budaya. Kita, minimal harus memulai dari diri kita sendiri. Kita harus meyakinkan diri kita bahwa bangsa kita adalah “bangsa agraris”. Masyarakat “petani”. Masyarakat yang harus menanam dulu, baru kemudian memetik hasilnya. Kita harus mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mulai menanam. Menanam pohon di rumah, di sekolah dan di jalan-jalan. Menanam kebaikan dan kebajikan untuk masa depan. Mengajarkan kepada mereka pola hidup kerja keras, dengan tidak terlalu memanjakan mereka dengan fasilitas-fasilitas yang sebenarnya belum mereka butuhkan. Ibda binafsika!.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
bro, udah sampe mana clubtawanya? kami di tegal sedang berbahagia karena tiap minggunya peserta bertambah banyak
www.clubtawasli.blogspot.com
video terapi tawa
http://www.youtube.com/watch?v=KIU3UNgiTWo&feature=channel_page
terbaru dari SLI
terapi tawa pns & pejabat
http://www.youtube.com/watch?v=RxaH-qrLKj0&feature=channel_page
jolali www.clubtawasli.blogspot.com
memang masih begitulah bangsa kita, diperlukan orang-orang yang peduli dan mau membangun bangsa ini
Post a Comment