PESANTREN CYBER: SEBUAH GAGASAN
*Ahmad Husein (madhusein@yahoo.com) dan Zulfiandri**
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang yang menyerahkan diri" (Al Quran Surat An Nahl: 125)
Dakwah adalah seruan ke jalan Allah. Ia menjadi kewajiban bagi setiap muslim dan dilakukan dengan berbagai cara, baik individu maupun berjamaah. Selain bertujuan mengenalkan nur Islam kepada seluruh masyarakat dunia, dakwah juga dilakukan demi mencegah dan melawan kemungkaran lewat penggunaan kekuasaan (power), lisan/tulisan, ataupun sampai tingkat terlemah yakni di dalam hati. Pada dasarnya, dakwah merupakan bentuk kegiatan komunikasi, yang dapat berupa komunikasi personal, kelompok, ataupun massa. Adapun komunikasi yang baikmembutuhkan adanya sumber informasi yang baik, komunikator yang andal, pesan (message) yang sesuai, dan saluran atau medium yang tepat. Pada akhirnya, hal tersebut akan menghasilkan efek positif dari penerima pesan (H.A.Widjaja, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, 2000).
Dakwah dan Teknologi
Bicara soal medium, sebuah pesan membutuhkan saluran yang tepat untuk sampai ke obyek dakwah (mad'u). Jika pesan dan mediumnya pas, maka mad'u akan mengapresiasi secara positif sehingga dakwah bisa disebut berhasil. Sebaliknya, jika adasalah satu yang tak sesuai, maka hasil positif yang diharapkan dari mad'u akan gagal.Seiring dengan perkembangan teknologi yang makin maju, berbagai medium muncul untuk menyampaikan risalah Ilahi ini. Dimulai dari medium cetak (koran, majalah, tabloid, selebaran) hingga elektronik (radio, televisi). Belakangan, setelah tahun 90-an, muncullah internet, yang merupakan saluran baru yang penuh potensi. Dalam ruang cyber, semua kegiatan bisa dilakukan dan ditampilkan baik pasif maupunaktif/interaktif. Bagi umat Islam, bisa jadi internet menjadi sesuatu yang dipertentangkan keberadaannya. Di satu sisi ia memberikan banyak manfaat ilmu, tapi di sisi lain ia menyediakan lahankemaksiatan yang dalam. Namun bahwa internet menjadi medium baru yang amat luar biasa untuk dieksplorasi bagi para aktifis dakwah agaknya disepakati banyak pihak.Yang menarik, Gary Bunt, seorang akademisi Barat yang menulis buku Virtual Islamic: Computer Mediated Communications and Cyber Islamic Environment (CardiffUniversity of Wales: 2000), menyebutkan bahwa rata-rata yang menjadi landasan kalangan muslim mengembangkan layanan di internet, tak lain karena soal dakwah. Bagi mereka, kata Bunt, merancang situs web, menyediakan layanan online Islami, aktif berdiskusi di berbagai mailing list merupakan cara mudah untuk memenuhi kewajiban tersebut. Atau, menurut istilah Jeff Zaleski dalam Spiritualitas Cyber Space (Mizan, 1999), internet merupakan alat dakwah yang berdaya guna dan Islam merupakan agama yang hidup dalam perubahan. "Agama ini cocok untuk berkembang dalam internet yang tidak bersifat hierarkis," kata Zaleski.
Alasan lainnya adalah, bagi kaum muslimin di kalangan perkotaan, mencari kebutuhan di alam maya jauh lebih mudah dan cepat. Mencari teks kitab suci berikut alunan kiraahnya, misalnya, kini dapat ditelusuri dengan mudah. Jadwal solat lima waktu yang bergeser dari hari ke hari menurut lokasi di seluruh penjuru dunia tak sulit diperoleh. Fasilitas search engine, software penentuan kiblat, dan berbagai keperluan praktis lainnya dapatdijangkau dan dicari tanpa perlu menghabiskan banyak waktu.
Sebagai sebuah dunia maya yang saling terkait, internet memang punya karakteristik unik yang tak dipunyai medium konvensional. Di dunia interenet, tidak dikenal adanyapenguasa/pengatur utama. Artinya, orang bebas melakukan komunikasi dan berinteraksi. Seseorang dapat melakukan pertukaran teks, data, suara, dan gambar, serta berbagaipesan dengan berjuta manusia dalam bidang bisinis, akademis, pemerintahan, dan organisasi lain di hampir seluruh belahan dunia. Termasuk, dalam hal mencariperangkat lunak, dokumen, gambar, peta cuaca, katalog perpustakaan, serta bermacam informasi dari berbagai tempat di dunia.
Lewat medium anyar ini, mad'u dimungkinkan bisa tetap berhubungan dengan para da'i tanpa kehilangan sifat interaktifnya. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari yangsederhana seperti surat-menyurat elektronik (e-mail), diskusi dan belajar lewat grup mailing list, atau lewat situs web yang dirancang interaktif. Di Indonesia, situs-situs semacam www.pesantren.com, www.eramuslim.com, www.alhikmah.com, atau www.myquran.com, sudah cukup dikenal di kalangan netter yang membutuhkan materi Islami. Orang dapat juga membangun dan mengembangkan bentuk-bentuk serta metode baru pendidikan Islam, sebagai pilar penting dalam syiar Islam. Gagasan mendirikan sekolah maya (cyber school) atau e-learning merupakan alternatif yang patut dilirik. Untuk pendidikan tinggi seperti kampus dan kursus-kursus di berbagai bidang, model e-learning ini mulai lazim dilakukan, bahkan di dalam negeri.
Yang belum terdengar terobosannya justru pesantren, sebagai lembaga pengembangan keilmuan Islam yang telah ada di Indonesia sejak Islam diperkenalkan pertama kali. Semua kalangan Islam sepakat, pesantren merupakan lembaga keilmuan dan dakwah yang langsung berada dan menyatu dengan masyarakat. Dari pesantrenlah lahir berbagai tokoh yang berjuang di jalan Islam seperti M. Natsir, Buya HAMKA, Agus Salim, Hasyim Asy'arie, Jenderal Soedirman, Kasman Singodimedjo, dan lain-lain.
Potensi Pesantren Cyber
Mengapa perlu mengembangkan pesantren internet? Bukankah itu kesia-siaan atau hal yang percuma? Belum tentu. Paling tidak, ada beberapa alasan mendasar yang mendukung perlunya gagasan ini dicoba.
Pertama, banyaknya jumlah pengguna (user) yang potensial menjadi obyek dakwah. Untuk Indonesia saja, menurut keterangan Ditjen Postel, ada sekitar 4 juta orang yangsudah mengakses internet. Diproyeksikan, 61 juta penduduk bakal dapat menikmati internet di tahun-tahun mendatang.
Kedua, kebanyakan pengguna adalah orang-orang terdidik dari kalangan kelas menengah, dengan usia rata-rata 25 sampai 40 tahun. Dapat diduga, peserta pesantren maya nantinya adalah mayoritas dari kalangan yang sama. Di tahun-tahun belakangan, dengan semakin meningkatnya ghirah mempelajari Islam di kalangan menengah-atas, kehausan memperoleh pengetahuan Islam secara terstruktur hendaknya dapat diantisipasi. Dengan sifat pesantren yang unik dan menarik perhatian, gagasan ini diharapkan mampu menarik minat banyak orang. Ingat, dalam dunia internet, sesuatu yang unik dan kreatifamat potensial menjaring peminat. Apalagi, kalangan muslim menengah-atas relatif tidak mengalami kesulitan melakukan komunikasi dengan internet, baik di kantor maupun di rumah.Metode Pesantren Cyber
Tak mudah menyusun operasional pesantren via internet. Perbedaan yang utama sifatnya yang tak dapat mengandalkan pertemuan tatap muka layaknya pesantren konvensional dan modern yang telah dikembangkan. Ini ditambah kekhawatiran tak semua pesan pelajaran bisa ditangkap dengan jelas hanya dengan medium elektronik.
Ada beberapa patokan yang perlu dibuat untuk melancarkan jalannya gagasan tersebut.1. Keanggotaan (Membership)
Dengan alamat e-mail bagi anggota, akan mudah bagi mereka menerima materi pelajaran, membuka file mata pelajaran tertentu di situs web, atau mengikuti grup diskusi, dan melakukan tanya jawab dengan pengelola. Dalam hal ini, pengelola harus membuat basis data keanggotan. Diperlukan pemikiran mendalam untuk memberikan sesuatu yang lebih bagi yang mendaftarkan diri menjadi anggota atau menjadi santri. Pengelola perlu memikirkan semacam newsletter berkala dan modul-modul pelajaran yang dikirimkan kepada peserta merupakan sesuatu yang harus dirancang dengan serius.
2. Digital Library
Salah satu bentuk fasilitas yang disediakan di pesantren maya adalah perpustakaan digital (digital library). Perpustakaan ini menampung berbagai persoalan, keilmuan,dan buku-buku keislaman. Digital library harus juga menyediakan hyperlink keberbagai sumber (source) kepustakaan digital di inetrnet. Pengelola bisa pula bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga tertentu yang telah memiliki digital library lebih maju. DiIndonesia, perpustakaan digital yang dikembangkan Institut Teknologi Bandung dapat dijadikan alternatif
3. Chatting
Salah satu cara untuk memberikan pelayanan kepada anggota secara mudah adalah dengan membuat forum chatting yang menampilkan pengasuh pesantren secara bergiliran. Di dalam forum chatting ini, setiap santri (anggota) dapat bertanyadan berdiskusi dengan para asatidz mengenai modul-modul pelajaran ataupun mengenai persoalan lain yang menyangkut topik-topik pelajaran. Dibutuhkan penjadwalan waktu yang teliti agar program ini dapat berjalan dan diikuti santri dan asatidz-nya. 4. Forum Diskusi
Pelayanan cara ini ialah dengan membuka forum diskusi seperti mailing list. Fasilitas ini dipandu para staf pengajar dan pengelola yang akan terlibat masuk grupdiskusi tertentu sesuai dengan topik yang akan dirancang pengelola pesantren. Dengan ikut berdiskusi, diharapkan kita akan mendapatkan lebih banyak peluang bagi para santriuntuk membahas berdiskusi mengembangkan wawasan keislaman.
5. Pertemuan offline
Tidak bisa tidak, keterbatasan yang dimiliki pesantren cyber adalah bahwa tatap muka dan sosialisasi pergaulan sehari-hari --sebagai unsur terpenting pesantren nyata-- justru tidak diperoleh. Karena itu, tetap dibutuhkan pertemuan-pertemuan offline. Ini dapat dilakukan untuk beberapa hal. Pertama, saat melakukan evaluasi atau ujian terhadap kemampuan santri, bila hal ini diminta baik oleh pengelola atau santri sendiri. Kedua, jika ada permintaan dari para santri untuk bersilaturahim antarsantri danantara santri dengan pengelola serta pengasuh pesantren (asatidz). Karena domisili santri yang mungkin saja berjauhan, dibutuhkan jaringan (network) yang baik dan luas daripengelola sehingga dapat meng-handle santri di daerah tertentu. Katakanlah, misalnya, para santri wilayah Jawa Timur berkumpul di Surabaya, santri di Aceh dan SumateraUtara berkumpul di Medan, dan sebagainya. Konsekuensi pertemuan offline ini adalah, jika ada salah satu santri yang berdomisili di luar negeri, maka ia tak bisamengikutinya. Dengan teknologi teleconference via kamera web, misalnya, keterbatasan itu dapat diminimalisasi.
6. Komunikasi Penunjang
Selain internet, teknologi lain dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan kegiatan pesantren cyber ini, seperti penyampaian informasi melalui telepon seluler (SMS, data,gambar), radio, televisi, dan lain-lain.
7. Asas Legal Formal
Pendidikan jarak jauh bukanlah hal yang baru di khasanah pendidikan Indonesia. Namun pendidikan lewat jalur internet, harus diakui belum memiliki landasan yang kokoh, khususnya jika dikaitkan dengan formalitas dan status lulusan (santri). Adapun di luar negeri, kegiatan semacam ini sudah mulai dikenal. Karena itu, faktor ini patut dkaji dengan seksama.
Aspek Teknis Pembangunan Pesantren Cyber secara teknis, pembuatan pesantren cyber tidak terlalu sulit bagi para webmaster. Kita cukup menyiapkan teks, citra yang berformat JPG atau GIF, suara jika perlu, lalu membuatnya dengan format digital dan mengkonversikan seluruh data yang ada ke format HTML (Hyper Text Mark-up Language) yang merupakan format standar web.
Untuk bisa online, tersedia dua pilihan yakni dengan menyewa server atau memiliki server sendiri. Kita juga diberikan pilihan koneksi, apakah via ISP (Internet ServiceProvider) atau dengan cara leased line sendiri.
Ketika sebuah home page dibangun, ada dua prinsip (dasar) rancangan yang harus diingat, yaitu ringkas dan fungsional. Situs web harus mampu menuntun anggota (santri) dan pembaca umum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas melalui pesan yang terdapat di dalamnya.
Aspek Organisasi Pengelola
Organisasi pengelola pesantren maya terdiri atas Pengelola Teknis Situs Web dan perangkatnya (hardware dan software). Pengelola teknis situs web ini merupakan tenaga-tenaga profesional yang telah berpengalaman dalam membangun dan mengelola sebuah situs web. Selain mereka ada Pengelola/pengasuh pesantren. Pihak ini merupakan tenagaprofesional yang bertugas menjalankan operasional pesantren sehari-hari, mulai pengelolaan santri (anggota), penyusunan kurikulum, penyusunan dan perbanyakan modul, penyeleksian anggota, penghubung santri dengan narasumber (asatidz), pelaksana evaluasi akhir, dan perencana harian situs web. Nara sumber (asatidz) pesantren bertugasmengasuh masing-masing mata kuliah di pesantren dan berhak untuk membuat dan menilai hasil evaluasi santri.
Kenapa Tidak?
Memang, terbayang rumit dan sulitnya perwujudan pesantren cyber tersebut. Tapi perkembangan teknologi informasi sudah menjadi kenyataan di dunia kini dan masa datang. Ia tak bisa dihindari, atau malah dibenci. Sebaliknya, teknologi adalah alat, yang jika dipergunakan dengan tepat dapat mengatasi kendala -kendala yang selama ini dialami.
Ketika Rasulullah SAW bersabda "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim" (Hadits Riwayat Baihaqi, Ibnu Abdil Bar, Thabrani: Jamius Shagir, Syuyuti 5264), maka sesungguhnya itu dapat diinterpretasikan pula sebagai anjuran untuk mengembangkan ilmu berikut metodenya dari cara konvesional ke cara modern. Ini amat sesuai, apalagijika dikaitkan dengan sabda Rasul SAW lainnya: "Barangsiapa menunjukkan kepada sesuatu kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya" (Hadis Hasan Sahih Riwayat Tirmidzi)
Kuncinya ada di sumber daya manusia (SDM). Tenaga-tenaga profesional muslim yang handal kita yakini dapat menjalankan terobosan unik dan menarik ini, sekaligusmenjaring obyek dakwah secara lebih kreatif. Kenapa tidak?
Juara IV lomba karya tulis alhikmah.com
** Ahmad Husein dan Zulfiandri adalah aktivis Forum MantanLembaga Dakwah Kampus (Mantan LDK) Bogor.
Sunday, July 09, 2006
Sunday, July 02, 2006
Cara Bijak Memarahi Anak
Sebagaimana senyuman yang damai, kadang kita harus memarahi anak. Ini bukan berarti kita meninggalkan kelembutan, sebab memarahi dan sikap lemah-lembut bukanlah dua hal yang bertentangan. Lemah-lembut merupakan kualitas sikap, sebagai sifat dari apa yang kita lakukan. Sedangkan memarahi -bukan marah-merupakan tindakan. Orang bisa saja bersikap kasar, meskipun dia sedang bermesraan dengan istrinya.
Persoalan kemudian, kita acapkali tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak,utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya". Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka. Selebihnya, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan: Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan AncamanAnak-anak belajar dari kita. Mereka suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".
Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa mengubah perilaku anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan,tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuatanak belajar berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, Adalah buruk memarahi tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan. Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu,hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa memenuhinya. Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anakkonsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu.Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukanancaman. Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam.
Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten. "Ibu / Bapak Sudah Bilang Berkali-kali."Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk,akan segera menggerutu ke sana kemari, meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingatperilaku negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya. Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu / Bapak sudahberkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."
Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri(self esteem) anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akansemakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.
Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.
Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya Saja.
Suatu saat, kira-kira jam setengah dua dini hari seorang anak saya bangun dari tidurnya. Ia kemudian beranjak dan mengajak adiknya yang masih bayi bercanda, padahal adiknya baru saja tertidur. Sebagaimana ibunya, saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat mengendalikan emosi, tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak saya merupakan cerminan dari rasa sayangnya kepada adik. Nah, apa yang terjadi jika saya mencela anak saya? Apalagi kalau saya memelototi dan menghardiknya keras-keras, iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Ia bisa belajar membenci adiknya.
Apa yang saya ceritakan hanyalah sekedar contoh. Tidak jarang anak menampakkan perilaku "negatif", padahal ia tidak bermaksud demikian. Suatu ketika, pulang dari play-group anak saya berkata, "Bapak kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya, ternyata dia tidak mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar itu ya main-main, sembunyi-sembunyian."Kita sangat mudah keliru menangkap maksud anak. Kita gampang terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita perlu belajar untuk lebih terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi anak punya maksud baik, tetapi justru kita cela dirinyasehingga justru mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah menunjukkan bahwa ia seharusnya bertindak positif. Kita luruskanperilakunya. Bukan mencela dirinya. Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri -dan bukan pada tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya diri anak. Padagilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh. Sebagian kita merasa tidak merasa mencela anak, padahal ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak mau mendengar nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."
Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita adalah anak sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang salah.
Jangan Katakan : Jangan
Barangkali tidak ada kata yang lebih sering diucapkan oleh orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita menggunakan kata jangan begitu melihat anak melakukan tindakan yang kurang kita sukai. Kita juga menggunakan kata jangan, bahkan di saat kitamengharap anak melakukan yang lain. Padahal kata jangan tidak membuat mudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua bisa semakin jengkel karena merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua merasa anaknya suka ngeyel (kepala batu, orang Bugis bilang).
Lalu, apakah kita tidak boleh memberi larangan? Saya tidak dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada larangan sama sekali. Begitu pun keluarga. jangan katakan jangan pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa yangseharusnya dilakukan. Atau bersabarlah sampai ia menyelesaikan maksudnya, Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di teras, katakanlah, "Nak, main pasirnya di teras saja, ya?" singkat, padat, jelas dan positif. Bukan, "Ayo, jangan main pasir di teras. Saya pukul kamu nanti."
Kapan sebaiknya kita sampaikan larangan? Saat terbaik adalah ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam suasana netral, larangan yang kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih mudah memahami. Mereka bisa menerimanya sebagai aturan. Bukanmenganggapnya sebagai serangan kepada dirinya.
Persoalan kemudian, kita acapkali tidak bisa meredakan emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak,utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya". Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka. Selebihnya, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan: Ajarkan Kepada Mereka Konsekuensi, Bukan AncamanAnak-anak belajar dari kita. Mereka suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".
Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa mengubah perilaku anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan,tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuatanak belajar berontak dan menentang. Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pertama, Adalah buruk memarahi tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan. Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu,hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa memenuhinya. Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anakkonsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu.Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukanancaman. Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam.
Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten. "Ibu / Bapak Sudah Bilang Berkali-kali."Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk,akan segera menggerutu ke sana kemari, meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingatperilaku negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya. Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu / Bapak sudahberkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."
Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri(self esteem) anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akansemakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.
Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.
Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya Saja.
Suatu saat, kira-kira jam setengah dua dini hari seorang anak saya bangun dari tidurnya. Ia kemudian beranjak dan mengajak adiknya yang masih bayi bercanda, padahal adiknya baru saja tertidur. Sebagaimana ibunya, saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat mengendalikan emosi, tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak saya merupakan cerminan dari rasa sayangnya kepada adik. Nah, apa yang terjadi jika saya mencela anak saya? Apalagi kalau saya memelototi dan menghardiknya keras-keras, iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada adiknya. Ia bisa belajar membenci adiknya.
Apa yang saya ceritakan hanyalah sekedar contoh. Tidak jarang anak menampakkan perilaku "negatif", padahal ia tidak bermaksud demikian. Suatu ketika, pulang dari play-group anak saya berkata, "Bapak kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya, ternyata dia tidak mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar itu ya main-main, sembunyi-sembunyian."Kita sangat mudah keliru menangkap maksud anak. Kita gampang terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita perlu belajar untuk lebih terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi anak punya maksud baik, tetapi justru kita cela dirinyasehingga justru mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah menunjukkan bahwa ia seharusnya bertindak positif. Kita luruskanperilakunya. Bukan mencela dirinya. Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri -dan bukan pada tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya diri anak. Padagilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh. Sebagian kita merasa tidak merasa mencela anak, padahal ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak mau mendengar nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."
Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita adalah anak sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang salah.
Jangan Katakan : Jangan
Barangkali tidak ada kata yang lebih sering diucapkan oleh orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita menggunakan kata jangan begitu melihat anak melakukan tindakan yang kurang kita sukai. Kita juga menggunakan kata jangan, bahkan di saat kitamengharap anak melakukan yang lain. Padahal kata jangan tidak membuat mudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua bisa semakin jengkel karena merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua merasa anaknya suka ngeyel (kepala batu, orang Bugis bilang).
Lalu, apakah kita tidak boleh memberi larangan? Saya tidak dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada larangan sama sekali. Begitu pun keluarga. jangan katakan jangan pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa yangseharusnya dilakukan. Atau bersabarlah sampai ia menyelesaikan maksudnya, Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di teras, katakanlah, "Nak, main pasirnya di teras saja, ya?" singkat, padat, jelas dan positif. Bukan, "Ayo, jangan main pasir di teras. Saya pukul kamu nanti."
Kapan sebaiknya kita sampaikan larangan? Saat terbaik adalah ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam suasana netral, larangan yang kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih mudah memahami. Mereka bisa menerimanya sebagai aturan. Bukanmenganggapnya sebagai serangan kepada dirinya.
BANGSA INSTAN
Ternyata urusan instan bukan hanya urusan makanan. Mie instan, jahe instan, kopi instan, dan lain-lain serba instan. Ternyata urusan instan menyebar ke segala lapisan masyarakat dan segala macam urusan.
Sebetulnya tulisan ini kadarnya sedikit di atas gerundelan. Gerundelan atas keprihatinan nasib bangsa saat ini. Bangsa yang sedang sakit. Bangsa yang sedang sakit, kurus kering, kekurangan darah dan kerdil. Bangsa yang salah asuh dan salah urus oleh para pengemongnya. Bangsa yang melahirkan para politisi rabun ayam dan para pengusaha rabun myopi serta masyarakat yang sakit.
Para politisi rabun ayam ini membesarkan demokrasi bangsa menjadi bonsai dan vampir. Demokrasi seolah-olah. Seolah-olah kita telah berdemokrasi. Para politisi ini memberikan “uswatun hasanah”, kepada para pengikutnya bagaimana cara berdemokrasi. Yakni : jadikanlah rakyat sebagai alat untuk mengejar kepentingan partai, kelompok dan pribadi tentunya. Suara rakyat yang seharusnya sampai ke pucuk, hanya bergaung di akar rumput. Suara rakyat dijadikan komoditi yang bernilai jual. Setelah dapat kedudukan, maka para politisi ini berubah menjadi vampir. Menyedot darah bangsa, darah rakyat, sehingga menjadi kerdil dan kurus kering. Suara rakyat dan demokrasi menjadi kerdil dan sengaja dibonsaikan. Untuk kepentingan itu dipeliharalah kredo : ‘kecil itu indah”.
Para pengusaha yang rabun myopi kemudian berkolaborasi dengan para politisi rabun ayam untuk berkolusi. Berkolusi untuk mendapatkan proyek-proyek dan berbagai fasilitas. Baik fasilitas pembebasan pajak, fasilitas kemudahan impor, kemudahan menggarong bank, bahkan bank yang mereka miliki sendiri. Para pengusaha rabun myopi ini melihat diri mereka besar, sedangkan melihat musuh-musuh mereka di luar negeri kelihatan kecil. Mereka hanya bisa melihat yang dekat, tidak bisa melihat di kejauhan. Para pengusaha ini merasa besar di kandang mereka sendiri. Ketika diadu bertanding dengan pengusaha-pengusaha dari luar mereka semua “keok”. Karena mereka terbiasa dimanja. Mereka terbiasa hidup enak dan mendapatkan segalanya dengan cepat.
Mungkin penyebab semuanya ini karena bangsa kita agaknya masih termasuk bangsa primitif. Bangsa yang tidak mau menanam tapi maunya hanya memanen. Benar seperti yang dikatakan oleh Profesor Koentjaraningrat, bahwa salah satu budaya yang membuat bangsa kita terpuruk adalah budaya terabas, budaya instan. Budaya kepingin cepat jadi. Budaya kepingin cepat dapat untung. Budaya ingin segala permasalahan cepat selesai. Budaya yang pokoknya semuanya harus serba cepat, serba instan.
Bangsa yang masih primitif di zaman dahulu kala, tidak pernah berfikir untuk harus menanam terlebih dahulu. Karena semuanya serba ada. Kalau mereka lapar tinggal pergi ke hutan, bawa tombak dan pulang membawa hewan buruan. Atau tinggal tebang atau petik pohon buah-buahan. Kalau kepingin makan ikan, tinggal pergi ke sungai dan menombak beberapa ekor ikan dan membawa pulang beberapa ekor untuk dipanggang. Benar-benar hidup yang indah dan nimat. Itulah kehidupan bangsa primitif. Masyarakat primitif tidak pernah berfikir kerja keras dan tidak perlu bersusah-susah berfikir mengenai kelangkaan sumberdaya. Segala serba ada dan tinggal ambil.
Kitab suci sendiri, di dalam Al Quran, telah menyebutkan bahwa manusia diciptakan memilik sifat tergesa-gesa. Sifat ingin segalanya cepat jadi, yakni sifat instan. Dan sifat ini ditegaskan bukanlah sifat yang baik bagi manusia.
Sebagai bangsa yang sedikit maju, seharusnya mulai berpikir adanya kelangkaan dalam sumberdaya dan perlunya budaya bertani. Untuk itu kita harus menanam. Kita harus menggali, menanam dan harus memetik serta mengolah sebelum dapat dimakan. Kita harus bersusahpayah terlebih dahulu sebelum bisa memetik hasil. Harus dengan kesabaran untuk menunggu sebelum menikmatinya, bahkan kadang-kadang hasil panen yang harusnya jadi milik kita keduluan oleh hama atau binatang perusak, seperti monyet dan babi hutan.
Budaya instan yang turun dari masyarakat primitif ini agaknya sekarang masih jadi budaya kita pula. Makanya tak heranlah bila kita menyaksikan orang-orang mulai dari pensiunan, ibu-ibu rumah tangga sampai pejabat tinggi negara yang berbondong-bondong “menginvestasikan” uangnya di bisnis-bisnis yang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan dan dalam waktu yang singkat. Sungguh aneh, dimana logika mereka semua? Sektor pertanian yang hanya memiliki keuntungan sama dengan tingkat suku bunga Bank (menurut Prof. Didik Rachbini, di Republika) bisa memberikan keuntungan sampai 5 persen per bulan. Agaknya mereka semua tergiur ingin cepat kaya dalam waktu singkat. Inilah budaya instan!
Makanya tak heran pula kita bila melihat betapa judi-judi togel begitu meruyak di masyarakat. Dengan hanya memasang 1000 rupiah, bisa mendapatkan 10 ribu sampai 100 ribu rupiah. Bisa 10 sampai 100 kali lipat. Benar-benar menggiurkan keuntungannya. Padahal yang namanya judi, satu-satunya yang bisa menang adalah para bandar. Tetapi logika ini tidak akan bisa masuk ke kuping para “fans” togelwan dan togelwati dan judi gelap lainnya. Ya, itu karena budaya budaya instan, ingin cepat kaya tanpa harus kerja keras!
Dan takkan pula kita heran bila menyaksikan bagimana para bapak-bapak, ibu-ibu, remaja-remaja, pejabat, artis pengusaha atau “orang-orang biasa” yang juga berbondong-bondong mendatangi para dukun, paranormal, atau “orang-orang pintar”. Bapak-bapak pejabat tersebut datang untuk mendapatkan aji-ajian pengasih agar tetap dapat bertahan di jabatannya atau agar bisa lebih naik lagi jabatannya. Para remaja mendatangi para dukun untuk mendapatkan aji pengasih agar memperoleh pasangan dengan cepat. Seperti juga artis-artis, dengan membeli susuk agar kelihatan cantik dan seksi. Para pengusaha butuh ajian agar usaha mereka lancar dan sebagainya. Hal ini terlihat hampir di seluruh lapisan masyarakat. Terlihat budaya primitifnya. Ingin sukses tetapi tidak mau kerja keras!
Makanya tidaklah mengherankan, bila kita terlambat keluar dari krisis ekonomi yang menimpa bangsa kita. Kita berkeinginan untuk segera keluar dari krisis tetapi “emoh” untuk kerja keras. Malahan kita gantungkan nasib kita kepada lembaga asing yang tidak pernah peduli dengan bangsa kita. Mereka hanya peduli akan uang mereka. Uang yang mereka pinjamkan harus kita kembalikan, dan mereka hanya memastikan bahwa uang mereka itu aman. Kita hanya sibuk menyalahkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri, meyelamatkan diri sendiri, kalaupun inisiatif itu ada dengan cara yang aneh. Mencari harta karun dan menjual asset serta perusahaan-perusahaan vital milik bangsa! Menggelikan. Dan itu benar-benar budaya instan!
Lihatlah bagaimana cara berfikir para ahli keuangan kabinet sekarang ini. Mereka berkeinginan untuk bisa mendapatkan uang bagi modal pembangunan dengan cara yang cepat. Uang bagi kas negara dengan cara yang instan, yakni obral BUMN dan asset-asset vital bangsa serta mengambil hak rakyat berupa subsidi. Mereka tidak mau bekerja keras, bahkan untuk sekedar berfikir bagaimana caranya untuk mengembalikan uang negara yang digarong melalui BLBI oleh para konglomerat hitam. Mereka enggan dan malas untuk memikirkan bagaimana cara-cara kreatif seperti yang dimiliki oleh tetangga kita Malaysia, yang sukses dan bangga jadi musuh Yahudi!.
Bagaimana dengan kehidupan perekonomian rakyat kecil dan koperasi? Sami mawon alias samo sajo. Masyarakat koperasi masih ada imbas masyarakat primitif. Ingin cepat besar, ingin cepat kaya tetapi enggan bekerja keras. Koperasi menjadi sekumpulan masyarakat yang hanya menjadi broker dan rent seeking society. KUD-KUD lebih aktif mengurusi rekening listrik daripada mengurusi pertanian. Karena dari rekening listrik telah kelihatan berapa keuntungan yang didapatkan. Keuntungan yang cepat lagi instan. Hal ini boleh-boleh saja, asalkan core business KUD tidak terlupakan. Akan tetapi yang banyak terjadi adalah KUD meninggalkan core business nya sebaga koperasi pertanian di tingkat perdesaan. Banyak KUD-KUD, unit usaha yang hidup hanyalah tempat pembayaran rekening listrik, unit wartel atau unit-unit lainnya yang tidak berhubungan dengan sektor pertanian.
Pertanda lainnya adalah banyaknya bermunculan koperasi-koperasi dan induk-induk koperasi yang tidak jelas “juntrungannya”. Koperasi-koperasi yang tidak jelas core business-nya. Bermunculan koperasi-koperasi merpati dan koperasi pedati, yang hidup untuk mendapatkan fasilitas dan kredit murah. Benar-benar budaya instan!
Cukuplah itu saja, contoh-contoh yang menunjukkan bahwa bangsa kita masih bangsa primitif.
Bangsa kita adalah bangsa yang telah mendapatkan pendidikan selama orde baru dengan pendidikan yang penuh dengan isi materialistis. Bangsa kita berhasil terbebas dari buta huruf tetapi belum bebas buta nurani, belum bebas buta mata hati. Sehingga budaya lama, budaya instan masih belum terhapuskan.
Harus dengan kerja keras pula untuk menghilangkan budaya ini. Butuh kerja keras kita bersama. Konon katanya, butuh waktu 100 tahun untuk merubah suatu budaya. Butuh dua generasi untuk merubah budaya. Kita, minimal harus memulai dari diri kita sendiri. Kita harus meyakinkan diri kita bahwa bangsa kita adalah “bangsa agraris”. Masyarakat “petani”. Masyarakat yang harus menanam dulu, baru kemudian memetik hasilnya. Kita harus mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mulai menanam. Menanam pohon di rumah, di sekolah dan di jalan-jalan. Menanam kebaikan dan kebajikan untuk masa depan. Mengajarkan kepada mereka pola hidup kerja keras, dengan tidak terlalu memanjakan mereka dengan fasilitas-fasilitas yang sebenarnya belum mereka butuhkan. Ibda binafsika!.
Sebetulnya tulisan ini kadarnya sedikit di atas gerundelan. Gerundelan atas keprihatinan nasib bangsa saat ini. Bangsa yang sedang sakit. Bangsa yang sedang sakit, kurus kering, kekurangan darah dan kerdil. Bangsa yang salah asuh dan salah urus oleh para pengemongnya. Bangsa yang melahirkan para politisi rabun ayam dan para pengusaha rabun myopi serta masyarakat yang sakit.
Para politisi rabun ayam ini membesarkan demokrasi bangsa menjadi bonsai dan vampir. Demokrasi seolah-olah. Seolah-olah kita telah berdemokrasi. Para politisi ini memberikan “uswatun hasanah”, kepada para pengikutnya bagaimana cara berdemokrasi. Yakni : jadikanlah rakyat sebagai alat untuk mengejar kepentingan partai, kelompok dan pribadi tentunya. Suara rakyat yang seharusnya sampai ke pucuk, hanya bergaung di akar rumput. Suara rakyat dijadikan komoditi yang bernilai jual. Setelah dapat kedudukan, maka para politisi ini berubah menjadi vampir. Menyedot darah bangsa, darah rakyat, sehingga menjadi kerdil dan kurus kering. Suara rakyat dan demokrasi menjadi kerdil dan sengaja dibonsaikan. Untuk kepentingan itu dipeliharalah kredo : ‘kecil itu indah”.
Para pengusaha yang rabun myopi kemudian berkolaborasi dengan para politisi rabun ayam untuk berkolusi. Berkolusi untuk mendapatkan proyek-proyek dan berbagai fasilitas. Baik fasilitas pembebasan pajak, fasilitas kemudahan impor, kemudahan menggarong bank, bahkan bank yang mereka miliki sendiri. Para pengusaha rabun myopi ini melihat diri mereka besar, sedangkan melihat musuh-musuh mereka di luar negeri kelihatan kecil. Mereka hanya bisa melihat yang dekat, tidak bisa melihat di kejauhan. Para pengusaha ini merasa besar di kandang mereka sendiri. Ketika diadu bertanding dengan pengusaha-pengusaha dari luar mereka semua “keok”. Karena mereka terbiasa dimanja. Mereka terbiasa hidup enak dan mendapatkan segalanya dengan cepat.
Mungkin penyebab semuanya ini karena bangsa kita agaknya masih termasuk bangsa primitif. Bangsa yang tidak mau menanam tapi maunya hanya memanen. Benar seperti yang dikatakan oleh Profesor Koentjaraningrat, bahwa salah satu budaya yang membuat bangsa kita terpuruk adalah budaya terabas, budaya instan. Budaya kepingin cepat jadi. Budaya kepingin cepat dapat untung. Budaya ingin segala permasalahan cepat selesai. Budaya yang pokoknya semuanya harus serba cepat, serba instan.
Bangsa yang masih primitif di zaman dahulu kala, tidak pernah berfikir untuk harus menanam terlebih dahulu. Karena semuanya serba ada. Kalau mereka lapar tinggal pergi ke hutan, bawa tombak dan pulang membawa hewan buruan. Atau tinggal tebang atau petik pohon buah-buahan. Kalau kepingin makan ikan, tinggal pergi ke sungai dan menombak beberapa ekor ikan dan membawa pulang beberapa ekor untuk dipanggang. Benar-benar hidup yang indah dan nimat. Itulah kehidupan bangsa primitif. Masyarakat primitif tidak pernah berfikir kerja keras dan tidak perlu bersusah-susah berfikir mengenai kelangkaan sumberdaya. Segala serba ada dan tinggal ambil.
Kitab suci sendiri, di dalam Al Quran, telah menyebutkan bahwa manusia diciptakan memilik sifat tergesa-gesa. Sifat ingin segalanya cepat jadi, yakni sifat instan. Dan sifat ini ditegaskan bukanlah sifat yang baik bagi manusia.
Sebagai bangsa yang sedikit maju, seharusnya mulai berpikir adanya kelangkaan dalam sumberdaya dan perlunya budaya bertani. Untuk itu kita harus menanam. Kita harus menggali, menanam dan harus memetik serta mengolah sebelum dapat dimakan. Kita harus bersusahpayah terlebih dahulu sebelum bisa memetik hasil. Harus dengan kesabaran untuk menunggu sebelum menikmatinya, bahkan kadang-kadang hasil panen yang harusnya jadi milik kita keduluan oleh hama atau binatang perusak, seperti monyet dan babi hutan.
Budaya instan yang turun dari masyarakat primitif ini agaknya sekarang masih jadi budaya kita pula. Makanya tak heranlah bila kita menyaksikan orang-orang mulai dari pensiunan, ibu-ibu rumah tangga sampai pejabat tinggi negara yang berbondong-bondong “menginvestasikan” uangnya di bisnis-bisnis yang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan dan dalam waktu yang singkat. Sungguh aneh, dimana logika mereka semua? Sektor pertanian yang hanya memiliki keuntungan sama dengan tingkat suku bunga Bank (menurut Prof. Didik Rachbini, di Republika) bisa memberikan keuntungan sampai 5 persen per bulan. Agaknya mereka semua tergiur ingin cepat kaya dalam waktu singkat. Inilah budaya instan!
Makanya tak heran pula kita bila melihat betapa judi-judi togel begitu meruyak di masyarakat. Dengan hanya memasang 1000 rupiah, bisa mendapatkan 10 ribu sampai 100 ribu rupiah. Bisa 10 sampai 100 kali lipat. Benar-benar menggiurkan keuntungannya. Padahal yang namanya judi, satu-satunya yang bisa menang adalah para bandar. Tetapi logika ini tidak akan bisa masuk ke kuping para “fans” togelwan dan togelwati dan judi gelap lainnya. Ya, itu karena budaya budaya instan, ingin cepat kaya tanpa harus kerja keras!
Dan takkan pula kita heran bila menyaksikan bagimana para bapak-bapak, ibu-ibu, remaja-remaja, pejabat, artis pengusaha atau “orang-orang biasa” yang juga berbondong-bondong mendatangi para dukun, paranormal, atau “orang-orang pintar”. Bapak-bapak pejabat tersebut datang untuk mendapatkan aji-ajian pengasih agar tetap dapat bertahan di jabatannya atau agar bisa lebih naik lagi jabatannya. Para remaja mendatangi para dukun untuk mendapatkan aji pengasih agar memperoleh pasangan dengan cepat. Seperti juga artis-artis, dengan membeli susuk agar kelihatan cantik dan seksi. Para pengusaha butuh ajian agar usaha mereka lancar dan sebagainya. Hal ini terlihat hampir di seluruh lapisan masyarakat. Terlihat budaya primitifnya. Ingin sukses tetapi tidak mau kerja keras!
Makanya tidaklah mengherankan, bila kita terlambat keluar dari krisis ekonomi yang menimpa bangsa kita. Kita berkeinginan untuk segera keluar dari krisis tetapi “emoh” untuk kerja keras. Malahan kita gantungkan nasib kita kepada lembaga asing yang tidak pernah peduli dengan bangsa kita. Mereka hanya peduli akan uang mereka. Uang yang mereka pinjamkan harus kita kembalikan, dan mereka hanya memastikan bahwa uang mereka itu aman. Kita hanya sibuk menyalahkan diri sendiri, memperkaya diri sendiri, meyelamatkan diri sendiri, kalaupun inisiatif itu ada dengan cara yang aneh. Mencari harta karun dan menjual asset serta perusahaan-perusahaan vital milik bangsa! Menggelikan. Dan itu benar-benar budaya instan!
Lihatlah bagaimana cara berfikir para ahli keuangan kabinet sekarang ini. Mereka berkeinginan untuk bisa mendapatkan uang bagi modal pembangunan dengan cara yang cepat. Uang bagi kas negara dengan cara yang instan, yakni obral BUMN dan asset-asset vital bangsa serta mengambil hak rakyat berupa subsidi. Mereka tidak mau bekerja keras, bahkan untuk sekedar berfikir bagaimana caranya untuk mengembalikan uang negara yang digarong melalui BLBI oleh para konglomerat hitam. Mereka enggan dan malas untuk memikirkan bagaimana cara-cara kreatif seperti yang dimiliki oleh tetangga kita Malaysia, yang sukses dan bangga jadi musuh Yahudi!.
Bagaimana dengan kehidupan perekonomian rakyat kecil dan koperasi? Sami mawon alias samo sajo. Masyarakat koperasi masih ada imbas masyarakat primitif. Ingin cepat besar, ingin cepat kaya tetapi enggan bekerja keras. Koperasi menjadi sekumpulan masyarakat yang hanya menjadi broker dan rent seeking society. KUD-KUD lebih aktif mengurusi rekening listrik daripada mengurusi pertanian. Karena dari rekening listrik telah kelihatan berapa keuntungan yang didapatkan. Keuntungan yang cepat lagi instan. Hal ini boleh-boleh saja, asalkan core business KUD tidak terlupakan. Akan tetapi yang banyak terjadi adalah KUD meninggalkan core business nya sebaga koperasi pertanian di tingkat perdesaan. Banyak KUD-KUD, unit usaha yang hidup hanyalah tempat pembayaran rekening listrik, unit wartel atau unit-unit lainnya yang tidak berhubungan dengan sektor pertanian.
Pertanda lainnya adalah banyaknya bermunculan koperasi-koperasi dan induk-induk koperasi yang tidak jelas “juntrungannya”. Koperasi-koperasi yang tidak jelas core business-nya. Bermunculan koperasi-koperasi merpati dan koperasi pedati, yang hidup untuk mendapatkan fasilitas dan kredit murah. Benar-benar budaya instan!
Cukuplah itu saja, contoh-contoh yang menunjukkan bahwa bangsa kita masih bangsa primitif.
Bangsa kita adalah bangsa yang telah mendapatkan pendidikan selama orde baru dengan pendidikan yang penuh dengan isi materialistis. Bangsa kita berhasil terbebas dari buta huruf tetapi belum bebas buta nurani, belum bebas buta mata hati. Sehingga budaya lama, budaya instan masih belum terhapuskan.
Harus dengan kerja keras pula untuk menghilangkan budaya ini. Butuh kerja keras kita bersama. Konon katanya, butuh waktu 100 tahun untuk merubah suatu budaya. Butuh dua generasi untuk merubah budaya. Kita, minimal harus memulai dari diri kita sendiri. Kita harus meyakinkan diri kita bahwa bangsa kita adalah “bangsa agraris”. Masyarakat “petani”. Masyarakat yang harus menanam dulu, baru kemudian memetik hasilnya. Kita harus mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mulai menanam. Menanam pohon di rumah, di sekolah dan di jalan-jalan. Menanam kebaikan dan kebajikan untuk masa depan. Mengajarkan kepada mereka pola hidup kerja keras, dengan tidak terlalu memanjakan mereka dengan fasilitas-fasilitas yang sebenarnya belum mereka butuhkan. Ibda binafsika!.
Subscribe to:
Posts (Atom)